Optimalisasi Penerapan SI Perlu Kebijakan Khusus Dari Pusat




Banda Aceh – Tidak semua program pemerintah pusat sesuai dengan Provinsi Aceh yang menerapkan Syariat Islam. Masih banyak persoalan yang bersifat paradoks, termasuk dalam hal penyaluran zakat.

Hal tersebut dikemukakan Wali Kota Banda Aceh Hj Illiza Sa'aduddin Djamal SE spada acara pembukaan seminar World Zakat Forum (WZF) “Developing International Standards for Zakat Management”, Selasa (9/6/2015).

“Untuk itu, kami berharap mudah-mudahan ada kebijakan khusus atau staf khusus presiden yang bepikir keras demi lancarnya penyelenggaraan syariat islam di Aceh.”

Pemko Banda Aceh, kata Illiza, terus berupaya menegakkan sayriat Islam secara kaffah. Soal Zakat yang merupakan rukun islam ketiga, katanya lagi, masih banyak hal-hal yang perlu diatur kembali secara mendetil.

“Kami merasa masih banyak kekurangan dalam hal penegakan Syariat Islam yang juga telah menjadi amanah konstitusi. Kami sangat mengharapkan dukungan dari pemerintah pusat,” kata Illiza pada acara yang dibuka oleh Dirjen Bimas Islam Kemenag RI Prof Dr Machasin tersebut .

Ia menambahkan, dengan label world islamic tourism, Banda Aceh ke depan bisa seterusnya menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan ajang-ajang yang berkaitan dengan syariah. “Bagi kami, tidak ada kebahagian lain, selain dengan penerapan Syariat Islam secara kaffah,” pungkasnya.


Asiten II Setda Aceh Azhari SE MSi yang pada kesempatan itu mewakili Gubernur Aceh, menyebutkan, zakat merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Dalam UUPA, terdapat tiga pasal yang berkaitan dengan zakat, yakni pasal 180, 191 dan 192.

Pasal 180 ayat (1) huruf d menyebutkan: “Zakat merupakan salah satu sumber Penerimaan Daerah (PAD) Aceh dan PAD Kabupaten/Kota”. Pasal 191 menyebutkan: “Zakat, harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota yang diatur dalam Qanun” Pasal 192 menyebutkan: “Zakat yang dibayar menjadi pengurang terhadap jumlah Pajak Penghasilan (PPh) terhutang dari wajib pajak.”

Melalui seminar zakat internasional ini, gubernur meminta persoalan zakat agar dikaji lebih dalam untuk mendorong pembangunan Aceh. “Pada 2014, zakat yang mampu dihimpun Baitul Mal Aceh mencapai Rp 150 miliar, dan itu masih terfokus pada zakat para PNS. Salah satu faktor belum optimalnya pengumpulan zakat di Aceh adalah belum berjalannya pasal 192 UUPA,” katanya.

“Dalam forum ini dengan narasumber dari berbagai dunia, kami berharap ada solusi dan masukan soal tata kelola zakat yang lebih baik ke depannya.”

Saat ini, tambah Azhari, ada dua kendala utama terkait pengelolaan zakat di Aceh. “Pertama soal penerimaan, ruh-nya PAD yang bersifat transito, tapi karena belum ada regulasinya, maka pola administrasinya persis sama seperti penerimaan PAD lainnya.”

“Kedua terkait pengeluaran zakat. Setelah disetor ke kas daerah, dana zakakt harus diamprah oleh Baitul Mal sesuai dengan ketentuan umum. Tidak ada aturan khusus yang mengatur soal ini,” katanya.

Pihaknya pun menilai seminar zakat internasional ini merupakan suatu momentum Pemerintah Aceh khususnya Baitul Mal untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan bisa menagambil contoh yang baik dari negar-negara lain.

“Selama 10 tahun terakhir pengelolaan zakat oleh Baitul Mal, kita akui belum mampu memungut zakat secara optimal. Kenapa kita masukkan ke PAD, karena adanya semnagat akuntabilitas dan tranparansi. Harapan kita masyarakat bisa lebih termotivasi untuk berzakat.”

Seperti diberitakan sebelumnya, perwakilan lembaga pengelola zakat dari 10 negara yakni Arab Saudi, Turki, Bosnia, Malaysia, Afrika Selatan, India, Tanzania, Bangladesh, Jordan dan Indonesia, ikut ambil bagian dalam seminar World Zakat Forum (WZF) yang digelar di Kota Banda Aceh pada 9-10 Juni 2015.

Seminar bertajuk “Developing International Standards for Zakat Management” ini dibuka secara resmi oleh Dirjen Bimas Islam Kemenag RI Prof Dr Machasin mewakili Menteri Agama RI, Selasa (9/6/2015) di Hermes Palace Hotel. (Jun)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »